Yang saya maksud menukar uang di sini bukan dari pecahan besar ke pecahan kecil, uang lawas ke uang baru, uang rusak ke uang layak edar, dan seterusnya, dengan jumlah total sama. Penukaran dengan pola seperti itu belum pernah saya dengar orang awam atau ulama memperdebatkan. Jadi, saya kira hukum Islam memperbolehkan.

Begitu juga hukum negara. Anda justru dianjurkan menukarkan ke tempat yang ditentukan (BI, bank-bank umum, dll.) jika memiliki uang sobek, habis masa berlaku, atau tak layak edar lain. Uang pengganti yang akan didapat jumlahnya tetap sama. Namun, salah satu syaratnya uang lama harus masih bisa dikenali keasliannya.

Baca juga: Syarat-sayat penukaran uang rusak di Bank Indonesia dan bank-bank lain

Yang saya maksud di sini adalah penukaran uang seperti fenomena yang sering terjadi menjelang hari-hari raya. Pada waktu tersebut, banyak orang menukar sejumlah uang menjadi nominal-nominal kecil yang masih baru untuk dibagi-bagi. Tempatnya pada jasa Penukar Uang yang banyak berjajar di pinggir jalan. Yang bikin janggal, jumlah uang yang diterima tidak sama dengan uang yang ditukar.

Menukar uang untuk keperluan lebaran seperti itu hukumnya…

Menukar uang untuk dibagi-bagi saat Idulfitri tentu saja hal yang baik bahkan mendatangkan pahala. Proses penukaran-uangnya pun tidak dosa atau melanggar hukum asalkan dilakukan sesuai aturan (jumlah harus sama dan kontan). Lalu, bagaimanakah dengan para jasa penukar uang seperti di atas yang mendapatkan keuntungannya dari selisih penukaran?

Menurut saya, mereka tidak salah karena keberadaannya kadang sangat dibutuhkan. Namun, yang dikhawatirkan soal keamanan (rawan rampok). Pihak yang menukar juga diharuskan teliti agar terhindar dari uang palsu. Terakhir, yang jadi masalah di sini jumlah penukaran tidak sama. Misal, uang sejuta rupiah dapatnya 900 ribu rupiah. Atau, untuk mendapatkan uang baru total sejuta rupiah penuh harus memberikan Rp1.100.000,00.

Pro dan kontranya di situ. Berdasarkan tanya sana-sini dan baca-baca di internet, saya menemukan banyak pihak yang menyatakan riba atau haram. Namun, sebagian sedikit lain berpendapat hukumnya mubah alias boleh-boleh saja. Kedua pihak ini tidak bisa dibilang asal omong karena punya dasar masing-masing.

Alasan menukar uang menjelang lebaran hukumnya riba atau haram

Hadis yang dijadikan dasar untuk menetapkan hukum menukar uang menjelang lebaran dalam agama Islam adalah sebagai berikut:

الذَّهَبُبِالذَّهَبِوَالْفِضَّةُبِالْفِضَّةِوَالْبُرُّبِالْبُرِّوَالشَّعِيرُبِالشَّعِيرِوَالتَّمْرُبِالتَّمْرِوَالْمِلْحُبِالْمِلْحِمِثْلاًبِمِثْلٍسَوَاءًبِسَوَاءٍيَدًابِيَدٍفَإِذَااخْتَلَفَتْ
هَذِهِالأْصْنَافُفَبِيعُواكَيْفَشِئْتُمْإِذَاكَانَيَدًابِيَدٍ

Dari Ubadah bin Shamait berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:” Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, barley dengan barley, kurma dengan kurma, garam dengan garam. Semua harus sama beratnya dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu tetapi harus tunai (HR. Muslim).

Walaupun secara fisik berupa kertas, tetapi dalam hal ini uang dihukumi sama seperti emas. Alasannya karena zaman sekarang peran “kertas” tersebut tidak jauh berbeda dengan emas zaman dulu: sama-sama dijadikan alat tukar transaksi. Berdasarkan sejarahnya pun, sebelum uang diciptakan, orang-orang jual-beli menggunakan emas dan perak.

Jadi, penukaran uang dengan uang harus mengikuti aturan pertama: jumlah sama dan tunai. Jika Anda menukar sejuta rupiah menjadi nominal kecil-kecil, maka pecahan-pecahan kecil itu harus berjumlah total sejuta rupiah juga. Selain itu harus tunai alias tidak boleh hutang keseluruhan atau sebagian. Serta tidak peduli apakah uang lawas, baru, dekil, mulus, lama, baru, dan sebagainya.

Bagaimana hukumnya jika menukar uang dengan jumlah beda tetapi kedua belah pihak sama-sama ikhlas? Menurut mereka, dalam hal ini jangan mengedepankan perasaan. Jika Anda taat agama, terutama Islam, harus lebih mengutamakan dalil yang ada.

Bagaimana soal penukaran ke mata uang asing seperti misal rupiah ke dolar yang tidak bisa ditukar begitu saja dengan jumlah sama karena terdapat perbedaan kurs? Lalu tentang uang kuno yang sudah bukan rahasia lagi bisa dijual berkali-kali lipat lebih mahal meskipun nominal yang tertera sangat kecil?

Dua pertanyaan itu akan coba saya jawab pada artikel setelah ini saja. Pada bagian bawah tulisan ini saya lebih tertarik membahas nasib jasa penukar uang yang biasa di pinggir jalan kota besar itu. Apakah sebaiknya menggratiskan (pertukaran tanpa selisih) saja? Lalu, dari mana mereka bisa memperoleh penghasilan dari seharian menunggui “dagangan” nya itu.

Baca juga: Hukum pesugihan dan uang gaib menurut hukum Islam

Alasan beberapa orang memperbolehkan penukaran uang dengan jumlah beda

Pihak pertama di atas mengharamkannya berdasarkan hadis. Kemudian uang dihukumi sama seperti emas karena fungsinya yang tidak jauh beda. Lalu, atas dasar apakah pihak kedua ini memperbolehkannya? Ternyata, berdasarkan hadis yang sama juga. Silakan baca ulang hadis yang dimaksud untuk mengingat kembali.

Menurut pihak ini, uang zaman sekarang yang wujudnya berupa kertas tidak termasuk benda-benda yang disebutkan dalam hadis. Sabda Nabi Muhammad saw. itu hanya menyinggung emas, perak, gandum, barley, kurma, dan garam. Karena tidak termasuk di dalamnya, maka hukum penukaran uang boleh-boleh saja meskipun dengan jumlah yang tidak sama.

Alasannya bukan hanya itu. Sekalipun uang harus dikategorikan seperti emas, tetapi saat ini ada dua jenis uang: kertas dan logam. Jadi, jika sejumlah uang kertas ditukar dengan uang logam dengan jumlah berbeda, masih menurut pihak ini, hukumnya sah-sah saja mengingat antara kertas dan logam sudah termasuk dua benda beda jenis.

Pendapat manakah yang harus Anda ikuti? Menurut saya sebaiknya kita ambil jalan tengah saja. Mengapa? Karena fakta yang terjadi, khususnya saat menjelang Lebaran, mayoritas orang menukar uang kertas jumlah sekian untuk ditukar menjadi uang kertas (pecahan lain) lagi, bukan menjadi uang logam.

Jalan tengah yang aman dalam penukaran uang

Dua pendapat di atas sama-sama terdapat risiko. Mentaati pihak pertama Anda akan kesusahan memperoleh uang receh untuk keperluan hari raya. Sedangkan mengikuti pihak kedua, ada kemungkinan dosa walau dalam hati yakin tidak haram. Penentu dosa atau tidak hanya Tuhan Sendiri, bukan keyakinan hati Anda.

Solusi yang dapat Anda lakukan adalah menukarnya sendiri ke Bank Indonesia, beberapa posko yang ditentukan, atau bank-bank umum yang telah kerja sama. Penukaran di tempat-tempat ini tidak ada selisih. Menukar uang (misal) sejuta rupiah kondisi apapun akan memperoleh uang lain dengan jumlah yang sama. Pas, tidak kurang atau lebih.

Meski mendapatkan jumlah sama dan berdasarkan pengalaman pribadi tidak dipungut biaya, tetapi penukaran uang di tempat-tempat itu terdapat kekurangan juga. Pertama, jumlah dibatasi. Setiap penukar hanya diperbolehkan sekian juta rupiah saja. Jika ingin lebih banyak harus mengantre ulang dari belakang lagi.

Kekurangan kedua, sangat padat menjelang hari-hari besar. Hal ini mengakibatkan antrean terlalu panjang. Jangan tanyakan soal orang yang mengantre ulang seperti di atas. Saya yakin dia harus menghabiskan waktu berjam-jam dan tentu lumayan lelah. Intinya cukup merepotkan.

Bila tidak mau repot, jalan keluarnya Anda bisa menyuruh atau minta bantuan orang lain. Minta padanya uang (misal) sejuta rupiah harus memperoleh sejuta rupiah juga. Setelah penukaran selesai, baru upahi dia seikhlas Anda. Penentuan upah jangan berdasarkan jumlah uang yang ditukar, tetapi berdasarkanlah waktu dan tenaga yang telah dikeluarkan.

Begitu juga dengan para jasa penukar uang yang umum di pinggir-pinggir jalan kota besar menjelang Lebaran itu. Meskipun mungkin mereka melakukan itu dengan niat memanfaatkan peluang, tetapi sebaiknya dengan sistem upah atau bayar jasa saja. Semoga dengan begitu rezeki yang didapat 100% halal secara hukum Islam.

Hal yang penting diingat adalah uang harus tetap menjadi alat tukar, bukan barang yang diperjual-belikan.

Selanjutnya baca: Pengertian & perbedaan akad mudharabah dan wadiah bank syariah

(Ditulis dari berbagai sumber. Anda harus menanyakan kepada ustaz secara langsung agar lebih yakin. Jika tulisan di atas terdapat kesalahan, mohon koreksi melalui komentar di bawah atau kontak admin. Terima kasih)

Author

Orang kaya memiliki TV kecil dan perpustakaan besar. Sedangkan orang miskin memiliki perpustakaan kecil dan TV besar. (Zig Ziglar)

Write A Comment